Oleh: A. Mustofa Bisri
Semangat beribadah anak muda itu memang luar biasa. Baginya, tak ada hari tanpa puasa dan tak ada malam tanpa qiyaamullail. Siang puasa, malamnya membaca al-Quran.
Mendengar perihal anak muda-yang tidak lain adalah sahabat Nabi Abdullah Ibnu Amr itu-Nabi Muhammad SAW pun bersabda, menanyainya: “Aku dengar kau selalu puasa di siang hari dan membaca al-Quran sepanjang malam, benar?”
“Benar, wahai Rasulullah, dan aku melakukan itu semata-mata menginginkan kebaikan.”
“Sesungguhnya cukup bagimu berpuasa 3 hari setiap bulan.”
“Ya Rasulallah, saya kuat berpuasa yang lebih afdol dari itu.”
“Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi. Maka puasa saja seperti puasanya Nabi Daud. Beliau itu orang yang paling kuat ibadahnya.”
“Ya Rasulallah, bagaimana itu puasa Nabi Daud?”
“Sehari berpuasa, sehari tidak. Dan bacalah al-Quran setiap bulan.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”
“Kalau begitu, baca setiap 20 hari.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”
“Ya baca setiap 10 hari.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol dari itu.”
“Oke, bacalah setiap 7 hari. Dan jangan lebih dari itu. Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi.”
Ketika Abdullah Ibnu Amr sudah tua, dengan nada agak menyesal, berkat,“Ah, seandainya dulu aku menerima kemurahan Rasulullah SAW…”
Dalam suasana maraknya anak-anak muda bersemangat dalam beragama dan beribadah akhir-akhir ini, makna apa yang dapat kita ambil dari kisah dari Hadits sahih riwayat Imam Bukhari di atas?
Pertama-tama, kondisi itu perlu kita syukuri. Sebagai bentuk syukur kita, kita perlu menjaga semangat itu agar tetap menjadi faktor positif terutama dalam kehidupan keberagamaan kita. Beragama dan beribadah itu mudah. Yang sulit adalah terus beragama dan beribadah sesuai tuntunan yang diberikan oleh Sang Pembawa agama itu sendiri, dalam hal ini adalah Rasulullah SAW.
Kisah nyata yang diceritakan sendiri oleh pelakunya, sayyidina Abdullah Ibnu Amr melalui antara lain riwayat Imam Bukhari di atas, memberikan gambaran yang menarik tentang “tawar-menawar” antara semangat keberagamaan yang menggebu dari anak muda dan kearifan Sang Pembawa agama. Semangat anak muda yang merasa memiliki kekuatan riil untuk melakukan amal kebaikan seoptimal mungkin, berhadapan dengan kearifan Sang Nabi yang tidak hanya melihat kebaikan amal semata, tapi juga terutama kelangsungan amaliah baik itu sendiri.
Orang arif mengatakan “Laa khaira fii khairin laa yaduumu bal syarrun laa yaduumu khairun min khairin laa yaduumu” yang artinya Tidak ada baiknya kebaikan yang tidak berlangsung terus, malahan keburukan yang tidak berlangsung terus, lebih baik daripada kebaikan yang tidak berlangsung terus. Ucapan sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Amr, di masa tuanya boleh jadi merupakan semacam “penyesalan” mengapa tidak mengikuti bimbingan Nabinya yang menawarkan sesuatu yang lebih ringan tampaknya, tapi dapat dilaksanakan dalam segala umur dengan semangat dan gairah yang sama.
Kisah sahabat Abdullah Ibnu Amr di atas hanya sebagian dari tuntunan Rasulullah SAW dalam hal bersikap tawassuth, tidak berlebihan, dan hikmahnya. Masih banyak Hadits yang menganjurkan kita untuk bersikap sedang-sedang atau sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam segala hal.
Kenyataan juga membuktikan bahwa keberlebih-lebihan hampir selalu menimbulkan masalah. Berlebih-lebihan mencintai maupun membenci, misalnya, sama-sama berakibat buruk. Berlebih-lebihan dalam mencintai dunia menimbulkan malapetaka. Berlebih-lebihan menilai kehebatan diri sendiri juga terbukti merusak diri sendiri dan lingkungan. Orang yang berlebih-lebihan dalam segala hal, pasti tidak bisa berlaku adil dan istiqamah.
Biasanya, ketika sedang bersemangat, kita memang sering lupa akan keburukan sikap berlebih-lebihan itu. Sementara, sudah merupakan kewajaran bahwa kaum muda memiliki semangat yang berkobar-kobar. Ini merupakan hal yang positif. Apalagi, semangat itu merupakan semangat beragama. Yang perlu dijaga ialah bagaimana semangat itu tidak seperti ungkapan, “panas-panas tai ayam” dan tidak menjerumuskan kepada sikap berlebih-lebihan. Untuk itu, semangat beragama mesti diikuti dengan semangat terus memperdalam pengetahuan tentang agama.
Kalau tidak-kalau semangat beragama jauh lebih besar daripada pemahaman tentang agama-justru malah bisa menimbulkan masalah seperti yang sering terjadi di sekitar kita dewasa ini.
Semangat beribadah anak muda itu memang luar biasa. Baginya, tak ada hari tanpa puasa dan tak ada malam tanpa qiyaamullail. Siang puasa, malamnya membaca al-Quran.
Mendengar perihal anak muda-yang tidak lain adalah sahabat Nabi Abdullah Ibnu Amr itu-Nabi Muhammad SAW pun bersabda, menanyainya: “Aku dengar kau selalu puasa di siang hari dan membaca al-Quran sepanjang malam, benar?”
“Benar, wahai Rasulullah, dan aku melakukan itu semata-mata menginginkan kebaikan.”
“Sesungguhnya cukup bagimu berpuasa 3 hari setiap bulan.”
“Ya Rasulallah, saya kuat berpuasa yang lebih afdol dari itu.”
“Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi. Maka puasa saja seperti puasanya Nabi Daud. Beliau itu orang yang paling kuat ibadahnya.”
“Ya Rasulallah, bagaimana itu puasa Nabi Daud?”
“Sehari berpuasa, sehari tidak. Dan bacalah al-Quran setiap bulan.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”
“Kalau begitu, baca setiap 20 hari.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”
“Ya baca setiap 10 hari.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol dari itu.”
“Oke, bacalah setiap 7 hari. Dan jangan lebih dari itu. Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi.”
Ketika Abdullah Ibnu Amr sudah tua, dengan nada agak menyesal, berkat,“Ah, seandainya dulu aku menerima kemurahan Rasulullah SAW…”
Dalam suasana maraknya anak-anak muda bersemangat dalam beragama dan beribadah akhir-akhir ini, makna apa yang dapat kita ambil dari kisah dari Hadits sahih riwayat Imam Bukhari di atas?
Pertama-tama, kondisi itu perlu kita syukuri. Sebagai bentuk syukur kita, kita perlu menjaga semangat itu agar tetap menjadi faktor positif terutama dalam kehidupan keberagamaan kita. Beragama dan beribadah itu mudah. Yang sulit adalah terus beragama dan beribadah sesuai tuntunan yang diberikan oleh Sang Pembawa agama itu sendiri, dalam hal ini adalah Rasulullah SAW.
Kisah nyata yang diceritakan sendiri oleh pelakunya, sayyidina Abdullah Ibnu Amr melalui antara lain riwayat Imam Bukhari di atas, memberikan gambaran yang menarik tentang “tawar-menawar” antara semangat keberagamaan yang menggebu dari anak muda dan kearifan Sang Pembawa agama. Semangat anak muda yang merasa memiliki kekuatan riil untuk melakukan amal kebaikan seoptimal mungkin, berhadapan dengan kearifan Sang Nabi yang tidak hanya melihat kebaikan amal semata, tapi juga terutama kelangsungan amaliah baik itu sendiri.
Orang arif mengatakan “Laa khaira fii khairin laa yaduumu bal syarrun laa yaduumu khairun min khairin laa yaduumu” yang artinya Tidak ada baiknya kebaikan yang tidak berlangsung terus, malahan keburukan yang tidak berlangsung terus, lebih baik daripada kebaikan yang tidak berlangsung terus. Ucapan sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Amr, di masa tuanya boleh jadi merupakan semacam “penyesalan” mengapa tidak mengikuti bimbingan Nabinya yang menawarkan sesuatu yang lebih ringan tampaknya, tapi dapat dilaksanakan dalam segala umur dengan semangat dan gairah yang sama.
Kisah sahabat Abdullah Ibnu Amr di atas hanya sebagian dari tuntunan Rasulullah SAW dalam hal bersikap tawassuth, tidak berlebihan, dan hikmahnya. Masih banyak Hadits yang menganjurkan kita untuk bersikap sedang-sedang atau sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam segala hal.
Kenyataan juga membuktikan bahwa keberlebih-lebihan hampir selalu menimbulkan masalah. Berlebih-lebihan mencintai maupun membenci, misalnya, sama-sama berakibat buruk. Berlebih-lebihan dalam mencintai dunia menimbulkan malapetaka. Berlebih-lebihan menilai kehebatan diri sendiri juga terbukti merusak diri sendiri dan lingkungan. Orang yang berlebih-lebihan dalam segala hal, pasti tidak bisa berlaku adil dan istiqamah.
Biasanya, ketika sedang bersemangat, kita memang sering lupa akan keburukan sikap berlebih-lebihan itu. Sementara, sudah merupakan kewajaran bahwa kaum muda memiliki semangat yang berkobar-kobar. Ini merupakan hal yang positif. Apalagi, semangat itu merupakan semangat beragama. Yang perlu dijaga ialah bagaimana semangat itu tidak seperti ungkapan, “panas-panas tai ayam” dan tidak menjerumuskan kepada sikap berlebih-lebihan. Untuk itu, semangat beragama mesti diikuti dengan semangat terus memperdalam pengetahuan tentang agama.
Kalau tidak-kalau semangat beragama jauh lebih besar daripada pemahaman tentang agama-justru malah bisa menimbulkan masalah seperti yang sering terjadi di sekitar kita dewasa ini.
//
Label:
Artikel Islami
//
0
komentar
//
0 komentar to "Yang bisa dipetik dari sepenggal hikmah"
testing