Jika dalam masyarakat Jawa ada kitab seks Serat Centini dan Serat Nitimani, Kama Sutra pada masyarakat India, dan Ars Amatoria (The Art of Love) pada bangsa Romawi, maka di masyarakat Bugis ada manuskrip atau lontara Assikalaibineng.
Assikalaibineng mencatat pengetahuan yang paling rahasia dan paling erotis dalam hubungan sesksual (suami-istri). Kedudukan naskah Assikalaibineng ini menjadi referensi bagi masyarakat luas dalam rangka pembelajaran hal ikhwal hubungan seks dengan segala aspeknya.
Hal ini diungkapkan Muklis Hadrawi, dari Universitas Hasanuddin, pada Seminar Internasional Peranan Bugis dalam Pengembangan Alam Melayu Raya, Selasa (10/6) di Jakarta. "Substansi manuskrib Assikalaibineng menyajikan pengetahuan tentang hubungan seks mulai konsep filosofi seks, pengetahuan alat reproduksi, tahapan atau prosedur hubungan, doa-doa, mantra-mantra, teknik perangsangan, posisi dan gaya persetubuhan, teknik sentuhan, penentuan jenis kelamin anak, pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk dalam pesetubuhan, tata cara pembersihan tubuh, pengobatan kelamin, serta perlakuan-perlakuan seksual lainnya," ungkapnya.
Assikalaibineng yang diperkirakan manuskrip abad XVII, ketika tasawuf Islam telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Bugis-Makassar, secara khusus juga mengajarkan aspek-aspek seksualitas sampai pada hakikat atau derajad pemahaman seksual yang paling tinggi, yakni spiritual seks.
Menurut Hadrawi, seks dalam konteks Assikalaibineng tidak sekadar peristiwa biologis belaka, tetapi telah menjadi bagian dari sistem sosial Bugis yang didasari oleh seperangkat nilai agama Islam. Seluruh rangkaian aktivitas seksual dalam teks Assikalaibineng mulai pada tahap cumbu rayu, tahap inti atau senggama, hingga tahap akhir hubungan seks (pembersihan dan perawatan tubuh), memberikan kedudukan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi lakuan seks, sedangkan istri sebagai pihak penerima.
Hadrawi menjelaskan, dengan status seksual laki-laki yang aktif itu, Assikalaibineng mensyaratkan pihak laki-laki harus memiliki pengetahuan yang cukup agar dapat melakukan hubungan seks dengan istrinya secara berkualitas. Di sisi lain, suami disyaratkan untuk bijaksana dalam menjalankan peran seksualitasnya.
Menurut dia, teks Assikalaibineng memaparkan perlakuan fase inti hubungan seks ini misalnya cara menyentuh titik pekan paga vagina empat sisi yaitu kiri, kanan, atas, dan bawah. "Sentuhan terhadap empat dinding tersebut menunjukkan cara dan gaya persetubuhan yang variatif dan seluruh gaya itu dikendalikan oleh pihak laki-laki. Menyentuh empat pintu vagina istri itu menjadi tahap awal sebelum menyentuh daerah terdalam (pintu surga) vagina, yang disebutkan akan memberi puncak kenikmatan seksual terhadap istri," Hadrawi menjelaskan.
Sumber: http://www.kompas.com/read//xml/2008/06/10/15444391/assikalaibineng.kitab.hubungan.seks.bugis.
Assikalaibineng mencatat pengetahuan yang paling rahasia dan paling erotis dalam hubungan sesksual (suami-istri). Kedudukan naskah Assikalaibineng ini menjadi referensi bagi masyarakat luas dalam rangka pembelajaran hal ikhwal hubungan seks dengan segala aspeknya.
Hal ini diungkapkan Muklis Hadrawi, dari Universitas Hasanuddin, pada Seminar Internasional Peranan Bugis dalam Pengembangan Alam Melayu Raya, Selasa (10/6) di Jakarta. "Substansi manuskrib Assikalaibineng menyajikan pengetahuan tentang hubungan seks mulai konsep filosofi seks, pengetahuan alat reproduksi, tahapan atau prosedur hubungan, doa-doa, mantra-mantra, teknik perangsangan, posisi dan gaya persetubuhan, teknik sentuhan, penentuan jenis kelamin anak, pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk dalam pesetubuhan, tata cara pembersihan tubuh, pengobatan kelamin, serta perlakuan-perlakuan seksual lainnya," ungkapnya.
Assikalaibineng yang diperkirakan manuskrip abad XVII, ketika tasawuf Islam telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Bugis-Makassar, secara khusus juga mengajarkan aspek-aspek seksualitas sampai pada hakikat atau derajad pemahaman seksual yang paling tinggi, yakni spiritual seks.
Menurut Hadrawi, seks dalam konteks Assikalaibineng tidak sekadar peristiwa biologis belaka, tetapi telah menjadi bagian dari sistem sosial Bugis yang didasari oleh seperangkat nilai agama Islam. Seluruh rangkaian aktivitas seksual dalam teks Assikalaibineng mulai pada tahap cumbu rayu, tahap inti atau senggama, hingga tahap akhir hubungan seks (pembersihan dan perawatan tubuh), memberikan kedudukan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi lakuan seks, sedangkan istri sebagai pihak penerima.
Hadrawi menjelaskan, dengan status seksual laki-laki yang aktif itu, Assikalaibineng mensyaratkan pihak laki-laki harus memiliki pengetahuan yang cukup agar dapat melakukan hubungan seks dengan istrinya secara berkualitas. Di sisi lain, suami disyaratkan untuk bijaksana dalam menjalankan peran seksualitasnya.
Menurut dia, teks Assikalaibineng memaparkan perlakuan fase inti hubungan seks ini misalnya cara menyentuh titik pekan paga vagina empat sisi yaitu kiri, kanan, atas, dan bawah. "Sentuhan terhadap empat dinding tersebut menunjukkan cara dan gaya persetubuhan yang variatif dan seluruh gaya itu dikendalikan oleh pihak laki-laki. Menyentuh empat pintu vagina istri itu menjadi tahap awal sebelum menyentuh daerah terdalam (pintu surga) vagina, yang disebutkan akan memberi puncak kenikmatan seksual terhadap istri," Hadrawi menjelaskan.
Sumber: http://www.kompas.com/read//xml/2008/06/10/15444391/assikalaibineng.kitab.hubungan.seks.bugis.
//
Label:
Berita
//
0
komentar
//
0 komentar to "Assikalaibineng, Kitab Hubungan Seks Bugis"
testing